Tabloid PULSA

Sepak Terjang Ir. Soekarno Demi Bangsa Indonesia


Dengan Jepang yang imperialistis, militeristis dan teocratis Ir.Soekarno dari mulanya Jepang masuk sampai jatuhnya dari tahun 1942 sampai tahun 1945 dia bisa kerjasama bahkan bisa “sehidup semati” untuk mendirikan Indonesia merdeka di kelak kemudian hari dalam lingkungan “Asia Timur Raya” yang pastilah cocok dengan filsafat hidup Tenno Heika dan Kenpei Jepang. Oleh karena kepercayaan dan penghargaan Tenno Heika oleh Jendral Terauchi, Panglima Tertinggi seluruh Angkatan Perang Jepang di Asia Selatan, antara tanggal 5 dan 11 Agustus 1945 di Saigon.

Presiden Soekrano (yang walaupun atas desakan para pemuda Jakarta) pada 17 Agustus 1945 telah memmproklamasikam kemerdekaan Indonesia dan di masa Jepang menciptakan “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis” serta dengan secara sandiwara membakar potret van der Plas (Roosevelt dan Churchill)—dengan “Naskah Linggarjati” dan “Renville principles” menerima kembali Mahkota Raja Belanda di samping mengakui modal asing baik yang langsung memusuhi, maupun yang tidak langsung memusuhi Republik.

Di masa Jepang sebetulnya banyak jalan lain bagi Gico Soekarno untuk menyingkiri ikatan halus maupun kasar yang dicoba dikenakan oleh kaki tangan Tenno Heika kepadanya. Tak perlu dia sendiri yang menganjurkan atau menyetujui pengerahan romusha, pengumpulan intan berlian rakyat Indonesia serta para gadis (untuk dilatih) untuk dikirim ke Tokyo. Tiadalah pula perlu Presiden Soekarno di masa republik ini terus menerus menerima usul Inggris, yang sangat merugikan rakyat ialah menghentikan pertempuran di Surabaya dan Magelang serta usul dari pihak Belanda mengakui beberapa Negara Boneka dalam beberapa wilayah Republik Indonesia (NIT, Borneo,dll) dan sekarang menerima dan menjalankan usul Belanda “mengosongkan kantong” dan menarik 35.000 prajurit dari Jawa Barat dan Jawa Timur dan seterusnya menerima kembali mahkota Belanda, N.I.S dan UNI Nederland-Indonesia, jadinya membatalkan proklamasi 17 Agustus.

Seandainya Ir Sokerano tetap memegang pendiriannya semula dan bersandar atas kepercayaan kepada kekuatan 70 juta rakyat dan dinamikanya revolusi, artinya tetap memagang dasar Indonesia Merdeka dengan “Sosio-Nasionalisme” dan “Sosio-Demokratnya” tetap pula memegang cara Massa Aksi dengan semangat yang tiada kenal damai (juga terhadap sembarangan imperialisme) maka dengan kerja “Illegal” di masa jepang kemerdekaan 100 % boleh jadi sekali lebih lekas tercapainya daripada yang disangka-sangka.
Tetapi kalau kita pelajari perbuatannya Ir Sokerno, maka kita terpaksa mengambil kesimpulan bahwa dia tiada memusingkan analisanya masyarakat Indonesia. tiada tampak bagi saya dalam semua pidatonya perhatian yang dalam antara kebutuhan Belanda terhadap Indonesia. Tiada tampak bagi saya dalam semua pidatonya perhatian terhadap pertentangan yang antara kebutuhan Belanda terhadap Indonesia dalam arti keperluan hidup dan tiada kelihatan pula dalam semua pidatonya itu perhatian terhadap pokok- pendorongnya gerakan rakyat di Indonesia, ialah gerakan murba yang tak kenal damai. Semua dipusatkan kepada grande-eloquence, kemahiran kata, untuk mengikat perhatian dan perasaan para pendengar semata-mata. Kurang untuk menimbulkan keyakinan juga berdasarkan pengertian atas bukti dan perhitungan yang nyata, dan seterusnya untuk menerbitkan kemauan seperti baja untuk melaksanakan keyakinan itu, karena kepintaran menggunakan Bahasa Indonesia, maka dengan suara yang bergemuruh bersipongang dan mempengaruhi para pendengar, dapatlah Bung Karno memukau, menghipnotis sesuatu rapat rakyat murba.
Grande-eloquence beserta grande-elegance a’la Soekarno yang banyak kecocokan pada irama jiwa Murba Indonesia, yang tertindas, terperas, bisa digunakan oleh suatu imperialisme sebagai Dewi Nasionalisme untuk mengebiri gerakan murba yang dipengaruhi oleh paham komunisme, tetapi belum diobori, diorganisir dan di-disiplin oleh ilmu komunisme. Tetapi grande-eloquence dan grand- elegance itu saja tak dapat mendidik kader murba yang bisa mempelopori gerakan dan revolusi di Indonesia.

Partai Nasional Indonesia (PNI) terdiri sebagian besarnya daripada kaum intelektual borjuis. Mereka ini dalam hati kecilnya takut kepada akibatnya gerakan murba, tetapi dengan pidato yang abstrak, kabur tetapi grande, mereka bisa memberi pengharapan dan impian kepada murba. Apabila murba yang sesungguhnya bergerak untuk mencapau maksudnya murba yang sebenarnya, dan imperialisme Belanda, Jepang atau Inggris mengambil tindakan keras, maka grande eloquence dapat dipergunakan untuk menutupi, menyelimuti dan membungkus segala-gala yang tidak konsekwen serta memalsukan semua yang konsekwen. Demikianlah grande eloquence beserta grande elegance dapat menyembunyikan apa yang kompromistis, menyelimuti apa yang anti Massa Aksi, serta membungkus segala sesuatu yang hakekatnya anti kemerdekaan.
 
Grande elegance a’la Soekarno tak pernah konkrit,nyata ialah tepat dan berterang-terangan melawan musuh yang nyata dan dekat. Dijamin Belanda Nasionalisme yang mestinya anti pemerintah Hindia Belanda itu dapat dibungkus dengan perkataan “kapitalisme-imperialisme”. Istilah ini dapat dipergunakan sebagai tabir asap untuk melindungi diri para pemimpin PNI terhadap undang-undang Hindia Belanda. Bukannya partai Nasional Indonesia langsung menentang pemerintah Hindia Belanda, melainkan imperialisme-kapitalisme yang jauh,abstrak, yang tergantung di awang-awang. Begitu oleh grande eloquence, istilah Massa Aksi yang berarti “Murba Bersenjata yang Bertindak Sendiri” boleh disulap menjadi massa aksi yang membangun kerjasama di “Hindia Belanda” dan  ber-“Kinro Hoozi di zaman Jepang dan bersama-sama “memotong keju” dan “menyapu jalan” di revolusi ini. Di zaman Jepang Sosio-Nasionalisme yang radikal dan agresif menjadi “Hakko Itjiu” atau “Hakko Seisin” teristimewa juga sekarang Sosio-demokrasi dan Sosio-Nasionalisme dan Sosio Demokrasi itu boleh dipakai sebagai perisai terhadap tuduhan “war criminal” dan sebagai selimut untuk kerjasama dengan kapitalisme-imperialisme Belanda, ialah tengkulaknya kapitalisme-imperialisme Amerika-Inggris.

Berhubung dengan amat longgarnya cara Ir. Soekarno menafsirkan suatu paham itu, maka tak pastilah saya ini dalam menentukan apakah sikap  Ir Soekarno yang sebenarnya terhadao paham dan diri saya sendiri, walaupun di masa lampau kelihatan masih serba baik. Buat sekadarnya membuktikan kerja itu di zaman lampau, ialah sebelumnya tangkapan saya pada tanggal 17 Maret 1946 di Madiun, maka tak ada salahnya kalau di sini saya mengemukakan beberapa peristiwa yang barangkali tidak begitu atau samasekali tidak diketahui oleh umum.

Sebermula, maka kebetulan saja, saya dalam tahanan di Mojokerto (13 Juli 1946 sampai 29 Januari 1947) saya terpandang satu buku yang berjudul “Indisch Schrift v/h Recht”. Dalam buku itu tercantum Ir Soekarno pada Landraad Bandung, 22 Desember 1931.

Hampir setengahnya laporan proses itu yang menutupi lebih kurang 60 muka, mengambil bagian yang memperhubungkan aksi Ir Soekarno di masa PNI dengan saya sendiri, ialah dengan perantara buku Masa Aksi yang saya tulis tergesa-gesa di Singapura pada pertengahan 1926.  Buku Masa Aksi itu sekarang sudah diterjemahkan dari bahasa Belanda ke dalam Bahasa Indonesia dan sudah disiarkan pada tahun lampau. Karena buku itu di masa Hindia Belanda cuma jatuh kepada beberapa pemimpin yang berpengaruh besar saja, dijatuhkan secara rahasia sekali dan karena isi buku itu pula yang pertama kali diperingatkan Presiden Soekarno kepada saya pada pertemuan bermula, maka baiklah saya turunkan di sini catatan dari beberapa pemeriksaan itu.

Beberapa kalimat disalin ke Bahasa Indonesia. Bunyinya sebagai berikut:
‘Landraad di Bandung ketua Mr.Siegenbeek v. Heukelen vonis 22 Desember 1931. Raad van justitie di Jakarta Mr.E.H de.Graag,dll. Vonis 17 April 1931

Perkara terhadap para pemimpin PNI menurut artikel 153 bis dan 169 dari Weboek v.strafrecht. pada halaman 609 tertulis: Dalam Indische Tijdschrift v/h Recht Ir Soekarno, R.Gatot Mangkuprajo, Mas Kun, Supriadinata

Semenjak berdirinya PNI sampai tanggal 29 Desember 1929, yakni selama tahun tersebut teristimewa pada petengahan kedua tahun itu, di Bandung dan tempat lain-lain, ialah di Jawa dengan memimpin atau berbicara pada rapat umum kursus dan propaganda tertutup. Demikian pula dengan jalan memberikan pimpinan kepada dan memajukan massa aksinya partai mereka mengambil bagian dalam PNI dengan pengetahuan tentang tujuan partai. Maksud terakhir dari PNI dengan tegas dituliskan dalam statute..keterangan azas sebagai syarat yang pertama disebutkan’ kemerdekaan poitik, yakni berhentinya pemerintahanan Belanda di atas Indonesia itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar